Judul Buku :
Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990 Penulis : Pidi Baiq Penerbit : Pastel Books Terbit : April 2014 Tebal : 384 hlm
ISBN :
9786027870413
|
Buku ini adalah buku karya Pidi Baiq yang pertama kali aku baca. Banyak
orang bilang kalau buku ini bagus. Ketika aku ke gramedia, tanpa ba-bi-bu lagi
langsung deh aku bawa buku ini ke meja kasir bersama buku keduanya. Dan
ternyata memang benar ceritanya luar biasa. Aku menyelesaikan buku ini dalam
waktu 2 hari. Temanku yang nggak suka baca novel, bisa melahap habis buku ini.
Ini adalah review dari “Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990” yang aku kutip
dari http://bukubukubiru.blogspot.co.id/2014/08/judul-dilan-dia-adalah-dilanku-tahun.html.
Cerita dari "Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990" ini sederhana,
yakni tentang Dilan, seorang siswa SMA Negeri di Bandung yang jatuh cinta
dengan siswi baru pindahan dari Jakarta: Milea. Tidak mengetahui bahwa
sebetulnya Milea telah memiliki pacar di ibu kota, Dilan pun melakukan berbagai
usaha untuk mendekati Milea.
Novel ini bisa dibilang merupakan teenlit. Hanya saja, setting-nya
pada tahun 1990, saat masih banyak pohon berdiri, jalanan masih sepi, dan
pusat-pusat perbelanjaan belum banyak berdiri, membuat Bandung—seperti yang
dideskripsikan pada novel—terasa begitu romantis. Belum lagi masih terbatasnya
penggunaan ponsel dan internet, jadi nggak ada yang namanya drama-drama ala
cewek cheerleader penguasa sekolah dan cewek cupu yang ditaksir cowok
populer (well, I used to read this kind of teenlit and guess what, I enjoyed
it. :p). Hei, tapi bukan berarti karena nggak ada drama semacam itu, lantas
cerita dari novel ini jadi nggak asik. Novel "Dilan: Dia Adalah Dilanku
Tahun 1990" memang memiliki narasi yang tidak banyak, diksinya juga
sederhana walaupun sedikit baku, tapi justru menurut saya, di situlah
kekuatannya. Dialog-dialog yang terjadi di antara Dilan dan Milea sukses bikin
saya senyum, ketawa, tertegun, dan ikutan malu sendiri—seolah-olah saya yang
diajak ngobrol Dilan. Hahahaha. Belum lagi berbagai perilaku Dilan yang....
duh, bikin saya kangen pengin baca ulang.
Dilan memang unik. Nyeleneh. Ia merupakan anggota dari geng motor yang
kadang ikut tawuran melawan sekolah lain. Nakal, tapi tidak brengsek. Ia tidak
takut bertindak untuk sesuatu yang ia anggap benar. Karena nyeleneh itulah,
cara-cara yang diambil Dilan untuk merebut hati Milea pun jadi tidak biasa dan
bikin saya terenyuh. Pada hari ulang tahun Milea, misalnya, Dilan memberikan
buku TTS yang telah dijawab penuh olehnya sebagai kado, karena Dilan tidak mau
Milea pusing mengisinya. Atau ketika Milea sakit dan Dilan mengirim tukang
pijit langganannya ke rumah Milea untuk memijit gadis pujaannya itu. Satu hal
lagi yang bikin saya makin naksir sama Dilan, yakni hobi membacanya. Iya,
nakal-nakal begitu, Dilan doyan membaca buku-buku sastra. Makanya, nggak heran
kalau dia diam-diam suka menulis puisi, yang beberapa di antaranya ditujukan
bagi Milea.
Milea awalnya merasa risih dan terganggu dengan kelakuan Dilan, apalagi
ketika itu Milea sedang pacaran jarak jauh dengan Beni yang ada di Jakarta. Ia
pun merasa bersalah dan bingung ketika mendapati dirinya mulai menikmati segala
perlakuan nyeleneh Dilan terhadapnya. Nah, karena novel ini diceritakan dari
sudut pandang Milea, secara pribadi saya cukup dapat merasakan apa yang
dirasakan dan dialami Milea—termasuk ketika ia dan Dilan mulai mengobrol
tentang hal-hal absurd tapi manis banget! Di sisi lain, sebagai pembaca wanita,
saya jadi merasa dihargai oleh Dilan melalui perilaku dan kata-kata yang
diucapkannya pada Milea.
***
"Milea, kamu cantik, tapi aku belum mencintaimu. Enggak tahu kalau sore. Tunggu aja" (Dilan 1990)
"Milea, jangan pernah bilang ke aku ada yang menyakitimu, nanti, besoknya, orang itu akan hilang." (Dilan 1990)
"Cinta sejati adalah kenyamanan, kepercayaan, dan dukungan. Kalau kamu tidak setuju, aku tidak peduli." (Milea 1990)
0 komentar:
Posting Komentar