Judul Buku : Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1991 Penulis : Pidi Baiq Penerbit : Pastel Books Terbit : Juli 2015 Tebal : 344 hlm
ISBN : 99786027870994
|
"Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1991" adalah buku kedua karya
Pidi Baiq yang aku baca. Buku ini merupakan lanjutan dari "Dilan: Dia
Adalah Dilanku Tahun 1990". Dan buku ini keren. Kalian harus baca buku
ini. Ini adalah review dari "Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1991"
yang aku kutip dari http://bukubukubiru.blogspot.co.id/2015/07/review-dilan-dia-adalah-dilanku-tahun.html.
Cerita dari buku kedua ini dimulai pas dari ending buku pertama, yaitu
ketika Milea resmi berpacaran dengan Dilan. Tidak cukup hanya secara lisan,
mereka juga menyatakannya di atas kertas bermaterai. Untuk dokumen perasaan,
kata Dilan. Nah, setelah “peresmian” hubungan mereka di warung Bi Eem, Dilan
pun mengantar Milea pulang menggunakan sepeda motornya. Adegan boncengan naik
motor berdua ini, yang tentu aja terjadi nggak hanya sekali, menjadi salah satu
hal favorit saya dari buku kedua ini, karena percakapan absurd nan manis khas
Dilan-Milea seringnya terjadi di atas motor!
Tapi, tentu aja hubungan Dilan dan Milea nggak selamanya manis begitu. Kang
Adi, guru les privat Milea di buku pertama, masih saja berusaha untuk PDKT
dengan Milea. Belum lagi ada tokoh baru bernama Yugo, saudara jauh Milea, yang
ternyata juga menyukai gadis itu. Well, sejujurnya saya kurang bisa
membayangkan cantiknya Milea itu seperti apa, tapi kayaknya cantik buanget, kok
sampai seorang calon guru magang di sekolahnya pun ikutan naksir. Namun,
masalah terbesar yang muncul dalam hubungan Dilan dan Milea bukan berasal dari
fans Milea—justru Dilan lah sumbernya! Masih ingat, kan, kalau Dilan itu ikutan
geng motor? Berulang kali Milea menegur Dilan bahwa ia nggak suka kalau Dilan
bergabung dengan geng motor, karena Dilan jadi doyan berantem dan
ujung-ujungnya membuat Milea khawatir. Awalnya, jujur aja saya menganggap
sepele masalah ini karena saya pikir, “Ah, pasti ntar Dilan juga nurut. Dilan
kan sayang banget sama Milea.” LAH KOK MALAH NGGAK SELESAI-SELESAI WTF?! Yang
jelas, masalah Dilan dan geng motor ini berpengaruh banget ke ending
bukunya yang—sumpah!—bikin sedih banget. Padahal saya udah kena spoiler
endingnya bahkan sebelum beli bukunya, tapi tetep aja ngerasa nyesek pas
selesai baca. Kalau buku pertama bikin perasaan saya berbunga-bunga, buku kedua
ini sukses bikin saya patah hati. Siap-siap aja.
Sama seperti buku pertama, buku kedua ini juga ditulis dari sudut pandang
Milea. Jadi sebetulnya seluruh kisahnya dengan Dilan di tahun 1990 dan 1991
merupakan flashback, sedangkan Milea masa kini berada di tahun 2015.
Pada bagian awal buku kedua ini, Milea juga sedikit menceritakan kembali
kisahnya dengan Dilan di buku pertama, kayak semacam perkenalan singkat. Di
satu sisi, hal tersebut dapat membantu mereka yang nggak membaca buku pertama
untuk bisa tetap nyambung dan menikmati kisah Dilan dan Milea di buku kedua
ini. Di sisi lain, para pembaca yang mengikuti dari buku pertama bisa saja
bosan dan merasa bahwa hal tersebut malah bersifat repetitif. Kalau saya
sendiri sih nggak merasa terganggu, justru senang karena bisa sedikit nostalgia
dengan zaman PDKT Dilan dan Milea. EHEHEHEHE.
YA GIMANA KAN, justru cara PDKT-nya Dilan di buku pertama itu yang bikin
saya jatuh cinta banget sama dia. Bener-bener yang jatuh cinta head over heels
karena bagi saya Dilan itu karismatik. Sayangnya, di buku kedua ini, karisma
itu seolah hilang. Nggak hilang, sih, tapi agak mengabur. Mungkin karena
frekuensi kemunculan si Dilan nggak sebanyak di buku pertama, selain karena
karakternya yang memang menurut saya jadi melemah justru ketika konfliknya
lebih berkembang. Tapi, tenang aja, Dilan masih unik, kok, masih doyan
ngegombalin Milea, pemikirannya masih nyeleneh tapi masuk akal, masih suka
bicara hal-hal absurd, masih sesekali nulis puisi. Saya suka juga dengan
hubungan Dilan dan Bunda yang kayaknya asik banget.
Tapi saya suka dengan Bunda yang juga dekat dengan Milea, bikin pengin
punya mertua kayak Bunda yang pengertian banget. Sayangnya, karakter Milea
seolah-olah "mengikuti" melemahnya karakter Dilan. Tentu aja ia masih
cantik dan pintar, tapi ada saat-saat di mana saya mengerutkan kening dan
berpikir, "Kok Milea gini, sih?" Saya ngerasa dia jadi lebih....
drama. Ada beberapa sikapnya terhadap kejadian-kejadian tertentu yang menurut
saya terlalu berlebihan. Kayak pas Yugo dan Ibunya datang ke rumah Milea untuk
meminta maaf atas tindakan buruk yang dilakukan Yugo terhadap Milea. Lalu
tiba-tiba Dilan datang dan Milea langsung aja menggaet Dilan ke tengah-tengah
ruang tamu, yang saat itu di sana juga ada Ayah dan Ibu Milea. Nggak hanya
memperkenalkan Dilan, Milea juga dengan lantang bilang bahwa Dilan adalah
pelindungnya, bahwa Dilan membela dirinya hingga terluka. Ya, saya tau kamu
bangga dengan Dilan, Milea, tapi nggak usah segitunya juga. Yang jelas saya
ngerasa bahwa Milea jadi lebih emosional di buku kedua ini.
***
"Jika aku berkata bahwa aku mencintainya, maka itu adalah sebuah pernyataan yang sudah cukup lengkap."
―Milea
"Senakal-nakalnya anak geng motor, Lia, mereka shalat pada waktu ujian praktek Agama."
―Dilan
0 komentar:
Posting Komentar